Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad Saw.
meminta nasihat dan Nabi berpaling kepadanya,
lalu beliau bersabda dengan berulang-ulang:
"Jangan pernah marah!" (HR Bukhari)
♦♦♦
Hal ini kemudian diperjelas oleh penelitian ilmiah yang menekankan
bahwa kemarahan, secara psikologis dan rangsangan neorotik, tidak
memiliki pengaruh yang lebih besar daripada berlari dalam hal
meningkatkan denyut jantung dan memompa lebih banyak darah dan lebih
cepat. Namun, marah tidak seperti berlari, pelari bisa berhenti jika
dia mau, sedangkan marah tidak dapat dikuasai dengan mudah, terutama
jika orang tersebut tidak terbiasa. Kemudian apa yang bisa terjadi?
Secara klinis terbukti bahwa orang-orang yang melampiaskan kemarahan dapat dengan mudah menderita hipertensi dan arteriosklerosis karena tekanan darah menjadi terlalu tinggi, sedangkan pembuluh darah kehilangan kemampuan untuk memperluas diri untuk menampung tambahan darah yang terpompa. Selain itu ada juga dampak psikologis dan sosial yang dapat merusak hubungan manusia.
Namun, layak diperhatikan bahwa yang menjadi pemikiran utama sejak
lama adalah bahwa menahan marah juga menjadi pemicu banyak penyakit.
Sebuah studi di Amerika menjelaskan bahwa marah dan menahwan marah
memiliki bahaya kesehatan yang sama, meskipun berbeda tingkat
keparahannya.
Jika kita menahan amarah, tidak akan ragu untuk menderita
hipertensi dan kadang-kadang kanker. Dan dalam kasus lain, ini dapat
menyebabkan serangan jantung mematikan, karena ledakan kemarahan akan
terjadi, dan itu lebih sulit untuk dikontrol. Dan karena kondisi fisik
begitu banyak terkait dengan psikologis, ini dapat menyebabkan
organ-organ vital lainnya dan kelenjar untuk mengeluarkan hormon
sampai-sampai mengganggu, dan akibatnya melemahkan sistem kekebalan,
atau menghilangkannya sama sekali setelah terjadi keadaan kritis pada
tubuh.
Jadi, ini menjelaskan mengapa sel-sel tubuh yang sehat dapat
berubah menjadi kanker karena tidak adanya sistem kekebalan yang
normal. Hal ini menunjukkan aspek ilmiah dan filsafat praktis di
belakang pengulangan nasihat Nabi Saw. untuk menjaga ketenangan.
Di sisi lain, Dr.Ahmed Shawki Ibrahim, anggota dari Royal Society
of Medicine di London dan konsultan kardiologi internal medicine,
mengatakan bahwa kodrat manusia ditandai oleh kecenderungan dan
perilaku yang berbeda. Sebagai contoh, keinginan jasmani mengarah
kepada kemarahan, sifat dominan dilambangkan oleh kecenderungan
terhadap kesombongan dan keangkuhan sementara mengikuti hawa nafsu
seseorang menghasilkan kebencian dan keengganan untuk orang lain.
Secara umum, di samping penyakit-penyakit psikologis dan fisik
lain seperti diabetes dan angina, menurut penelitian ilmiah dan menurut
Dr Shawki, mengafirmasi kenyataan bahwa kemarahan yang terus-menerus
dapat mempercepat kematian manusia.
Nabi Muhammad Saw. memerintahkan kita untuk menahan diri jika
marah karena setiap tindakan di waktu marah itu dapat membawa
penyesalan ketika tenang.
Alquran menggambarkan amarah sebagai kekuatan jahat yang memaksa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Ketika Nabi Musa Saw. kepada kaumnya, maka ia marah, lalu dilemparnya lembaran-lembaran kitab suci, lalu ia menarik kepala saudaranya. Kemudian ketika amarah Musa mereda, maka beliau mengambil lembaran-lembaran kitab suci tersebut. Tampak jelas perbandingan antara kedua kondisi tersebut.
Jadi, apa yang kita butuhkan adalah kontrol diri setelah iman yang
kuat dan kepercayaan kepada Allah, Pencipta kita. Petunjuk Nabi Saw.
mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan itu identik dengan ketenangan,
bukan kemarahan yang tak terkontrol.
Obat penenang juga tidak dapat menjadi solusi, karena efeknya justeru negatif. Penggunaan obat penenang sering mereka dapat menjadikan kecanduan sehingga tidak dapat dihentikan.
Cara mengatasinya adalah dengan mengubah perilaku manusia itu sendiri dalam menghadapi masalah sehari-hari, yaitu dengan ketenangan dan kehalusan, bukan dengan marah. Dr. Shawki menambahkan bahwa ada dua terapi psikologis untuk meredakan kemarahan:
Pertama: mengurangi kepekaan emosional dengan
melatih pasien, di bawah pengawasan medis, untuk bersantai jika bertemu
dengan situasi sulit sedangkan ia tidak merasakan kegembiraan.
Kedua: melalui relaksasi psikologis dan fisik,
sembari mengingat pengalaman yang paling sulit dan mengubah posisi
fisik, yaitu berdiri, duduk atau berbaring.
0 komentar:
Posting Komentar